Jumat, 03 Januari 2014

KEUTAMAAN SIFAT MALU




Mungkin kata malu ini sudah tidak asing lagi bagi kita setiap insan. Saya menulis tentang keutamaan sifat malu ini karena saya merasa di zaman ini sudah banyak orang-orang di sekitar kita yang hilang sifat malu, baik itu malu pada diri sendiri, malu kepada Allah, dan bahkan malu kepada orang lain.
Dan saya sendiri sadar bahwa saya yang juga manusia biasa lupa akan hakikat malu itu sendiri seperti apa, dan bagaimana menempatkan malu itu yang benar. Apa lagi seperti yang saya bilang tadi kita di zaman yang serba modern dan canggih ini pasti jauh dari etika yang sebenarnya.
Oleh karena itu, saya ingin berbagi bagaimana keutamaan sifat malu itu bagi kita semua, agar kita dapat mengendalikan diri kita, dan dapat menempatkan sifat malu itu pada tempatnya.
Baiklah langsung aja saya jabarkan sedikit ilmu yang saya dapatkan, berikut hadits tentang sifat malu dan maknanya.

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عقبة بن عمرو الأنصاري رضي الله عنه قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
 [رواه البخاري]

Dari Ibnu Masud, Uqbah bin Amru Al-Anshari Al-Badri r.a, berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya di antara kalimat kenabian pertama yang sampai ke tengah-tengah manusia adalah:‘Jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu’.” [Riwayat Bukhari].

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 اَلْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
 “Malu itu semuanya baik.”
(Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 54).

Makna hadits yang pertama yaitu, bahwa sifat malu merupakan sesuatu yang menjadi warisan Nabi SAW. yang masih disebarkan dan disampaikan oleh manusia secara turun-menurun, dari generasi ke generasi hingga sekarang.
Hadits ini juga memiliki makna masyhur dan makna perintah. Makna yang masyhur, yaitu jika seseorang tidak malu dengan aib dan tidak merasa khawatir akan kepantasannya dari apa yang ia kerjakan, maka ia akan mengerjakan sesuatu sesuai dengan bisikan dari jiwanya, baik itu hal yang baik maupun yang buruk. Hadits ini mengisyaratkan bahwa yang mencegah seseorang dari perbuatan buruk adalah rasa malunya. Namun, jika rasa malu itu sudah tidak dimiliki lagi, maka ia akan melakukan kesesatan dan keburukan dengan semau hatinya.
Makna perintah, yaitu jika seseorang tidak melakukan sesuatu yang berunsur memalukan dan sejalan dengan norma-norma kebenaran, maka lakukanlah sesukamu.
            Hadits ini dianggap sebagai salah satu sendi Islam, dikarenakan ada seorang ulama yang mengatakan bahwa hadis ini memuat kelima hukum Islam, yaitu sabda beliau yang berbunyi, "Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah semaumu!" Karena semua perbuatan manusia dapat digolongkan ke dalam dua golongan, yang pertama perbuatan yang dapat mengakibatkan malu dan yang kedua perbuatan yang tidak mengakibatkan malu. Termasuk dalam golongan pertama adalah yang diharamkan dan makruh dan termasuk dalam golongan kedua adalah yang diwajibkan, sunah dan mubah.
            Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai keutamaan sifat malu, berikut ini penulis akan menjelaskan pengertian malu, macam-macam malu dan faedah dari malu. Setelah kita mengetahuinya, barulah kita bisa mengerti makna hadits kedua yang mengatakan bahwa malu itu semuanya baik, dan sifat malu itu harus kita miliki dalam kehidupan sehari-hari kita.

Pengertian Malu
            Menurut Imam Ibnul Qayyim, Haya’ atau malu berasal dari kata hayah (hidup).
Menurut Al-Jurjani, malu adalah mundurnya diri dari sesuatu dan meninggalkannya karena khawatir mendapat celaan di dalamnya.
Sedangkan menurut Ibnu Alan, malu adalah akhlak yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perkataan,perbuatan, dan akhlak yang buruk, dengan malu seseorang tidak akan seenaknya sendiri dalam menunaikan hak orang lain.
            Jadi, malu merupakan suatu sikap untuk menghindarkan diri dari perkataan, perbuatan, dan akhlak yang buruk, karena dengan adanya sifat malu seseorang dapat mengendalikan diri dan tidak bersikap semaunya kepada orang lain. Oleh karena itu, sifat malu dijadikan sebagai warisan Nabi SAW. dan disebarkan dari generasi ke generasi hingga sekarang ini.

Macam-macam Malu
Dan harus diketahui juga, malu yang dimiliki oleh Rasulullah SAW.  terbagi menjadi dua macam yakni, malu gharizi atau pembawaan sejak lahir dan mukhtasab atau yang diusahakan. Beliau amat pemalu dalam pembawaan melebihi pemalunya gadis dalam pingitan, sedangkan di dalam malu yang muktasab beliau berada di puncaknya.
Imam Ibnul Qayyim, menuliskan malu memiliki 10 faktor, yaitu:
1)        Malu karena melanggar aturan
Malu dalam melanggar aturan ini dimiliki oleh Nabi Adam as. Ketika beliau akan meninggalkan surga. Maka Allah berfirman, “Apakah kami lari dari-Ku, wahai Adam?” Beliau menjawab, “Bukan, duhai Rabbku, tetapi karena aku malu kepada-Mu.” Dan juga malu jenis ini adalah malunya Wahsyi ra. Yang membunuh paman Nabi SAW. yakni Hamzah. Wahsyi berkata, “ Aku selalu menghindari Rasulullah SAW. supaya beliau tidak melihatku, sampai beliau wafat.”
2)        Malu karena kurang bersungguh-sungguh
Malu jenis ini, seperti malunya para malaikat yang selalu bertasbih sepanjang siang dan malam, tak pernah beristirahat. Pada hari kiamat mereka berkata,”Maha suci Engkau, kami telah beribadah kepada Engkau dengan tidak semestinya.” 
3)        Malu karena menghormati
Malu semacam ini, seperti malunya Amru bin Ash kepada Rasulullah SAW. yang tidak pernah memandang Rasulullah SAW. dengan pandangan yang lama. Amru Ash berkata, “Sungguh, dahulu tidak ada yang aku benci daripada beliau SAW. Namun, sejak aku masuk Islam, tidak ada yang labih aku cintai dan lebih terhormat dalam pandangan selain beliau. Dan seandainya aku diminta untuk menyifati beliau, niscaya aku tidak akan mampu. Sebab, aku tidak pernah memandang beliau dengan pandangan yang lama karena rasa hormatku kepada beliau.”
4)        Malu karena memuliakan
Ini seperti malunya Nabi SAW. kepada para tamu undangan saat walimah pernikahan beliau dengan Zainab. Para tamu berlama-lama duduk bersama beliau. Maka beliau berdiri, beliau malu untuk mengatakan, “Pulanglah kalian!”
5)        Malu karena kekerabatan
Seperti malunya Ali bin Abu Thalib ra. Untuk bertanya kepada Rasulullah SAW. perihal madzi. Yang demikian itu karena dia telah menikahi putri beliau.
Ali berkata, “Aku seorang yang ganpang sekali mengeluarkan madzi. Karenanya aku meminta Miqdad untuk bertanya kepada Nabi SAW. tentang madzi. Miqdad menanyakannya, dan jawab Nabi, “Di dalamnya ada wudhu.”
Dalam riwayat lain, “Aku adalah seseorang yang gampang sekali mengeluarkan madzi. Karenannya aku meminta seseorang untuk menanyakannya kepada Nabi SAW. karena dia telah menikahi putri beliau. Orang itu menannyakannya” dan Nabi SAW. menjawab, “Berwudhu dan cucilah dzakarmu!”
6)        Malu karena merasa hina dan kecil
Seperti malunya seorang hamba kepada Rabbnya ketika dia menanyainya tentang berbagai kebutuhannya, mengingat hina dan kecilnya diri. Di dalam atsar dari Bani Israil disebutkan bahwa Musa as. Berkata, “Wahai Rabbku, aku benar-benar membutuhkan beberapa perkara dunia, namun aku malu untuk memintanya kepada-Mu , wahai Rabbku!” Maka Allah ta’ala berfirman, “Mintalah kepada-Ku termasuk garam adonanmu dan makanan kambingmu!”
Penyebab malu jenis ini ada dua, yaitu karena orang yang meminta merasa dirinya kecil serta merasa banyak dosa-dosa dan kesalahannya besar, dan karena merasa besarnya yang dimintanya.
Juga seperti perkataan sesorang, “Sungguh, aku malu untuk meminta dunia kepada Rabbku, padahal dia yang memilikinya, lantas bagaimana aku meminta kepada yang tidak memilikinya.?”
7)        Malu karena cinta
Malu karena cinta ini adalah malu seseorang yang mencintai kepada yang mencintainya, dan rasa malu itu akan muncul apabila mengingatnya dan tidak di dekatnya. Rasa malu itu tergambar dari raut wajahnya yang dia sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Hal ini serupa dengan rasa malu seseorang yang akan bertemu dengan kekasihnya. Oleh karena itu, cinta memiliki pengaruh besar untuk menundukkan diri seseorang di atas seseorang yang menundukkan bandannya.
8)        Malu dalam rangka beribadah
Malu seperti ini sama dengan malunya rasa cinta, rasa takut, dan rasa selalu tidak beribadah kepada yang berhak untuk diibadahi. Hal ini juga dikarenakan kedudukan yang dibadahi itu lebih tinggi dan lebih mulia. Ibadah seperti ini akan senantiasa menimbulkan rasa malu kepada-Nya.
9)        Malu karena memiliki kemuliaan dan harga diri
Malu seperti ini timbul dari seseorang yang melakukan suatu kebaikan atau memberikan suatu barang yang jauh di bawah kemuliaannya. Walaupun seseorang sudah memberi namun, orang tersebut malu karena dia memiliki harga diri, barang yang diberikan terlalu kecil, dan malu seakan-akan orang yang diberi itu yang meminta.
10)    Malu kepada diri sendiri
Malu seperti ini dimiliki oleh orang yang berjiwa mulia. Malu karena membiarkan dirinya kekurangan dan hina. Seseorang malu kepada dirinya sendiri, tentunya dia lebih malu kepada orang lain.
Para ulama pun membagi malu itu menjadi dua bagian, yaitu :
1)   Malu kepada Allah
Artinya seorang hamba merasa malu jika Allah melihatnya sedang melakukan kemaksiatan dan menyelisihi perintah-Nya. Dalam hal ini orang tersebut memiliki rasa muraqabah, yaitu yang bersangkutan merasa bahwa Allah subhanahu wa ta’ala yang maha mengetahui dan maha melihat selalu mengawasi seluruh gerak gerik hamba-hambanya, sehingga yang bersangkutan merasa malu untuk berbuat sesuatu dimana Allah yang maha mengetahui dan maha melihat selalu mengawasi seluruh gerak gerik hamba-hambanya, sehingga yang bersangkutan merasa malu untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan dan akhlak yang mulia.
Rasa malu kepada Allah adalah bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari mengenal betul Allah, keagungan Allah. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hamba-Nya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.
Rasa malu kepada Allah adalah termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling puncak.
2)   Malu kepada sesama manusia
Dalam hal ini seseorang merasa malu terhadap orang lain apabila ia melakukan sesuatu yang tidak bersesuaian dengan norma-norma yang berlaku ditengah-tengah masyarakat atau yang dimana orang banyak dianggap sebagai sesuatu yang tidak lazim.
Rasa malu yang kedua ini adalah malu dengan sesama manusia. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan yang dia miliki. Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa siapa-siapa menyertai
orang yang memiliki rasa malu dengan sesama tentu akan menjauhi segala sifat yang tercela dan berbagai tindak tanduk yang buruk. Karenanya orang tersebut tidak akan suka mencela, mengadu domba, menggunjing, berkata-kata jorok dan tidak akan terang-terangan melakukan tindakan maksiat dan keburukan.

Faedah Malu
            Dengan memiliki sifat malu, tentunya akan memiliki manfaat ataupun faedah di dalamnya, di antaranya dapat kita ketahui, yakni :
1)        Malu adalah kunci segala kebaikan
Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa, Akhlak malu adalah akhlak yang paling utama, paling tinggi, paling agung, dan paling banyak manfaatnya. Malu adalah karakter khusus manusia. Dan menurutnya, bagi orang yang tidak memiliki sifat malu, maka orang tersebut tidak lain hanyalah memiliki sisi kemanusiaan seperti daging, darah dan badan kasarnya, serta tak akan ada kebaikan yang datang kepadanya.
Faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat baik adalah agama, yang dijadikan sebagai harapan untuk menghadapi kesudahan yang baik, dan dunia, yang berarti rasa malu seseorang kepada sesamanya.
Bagi orang yang memiliki rasa malu maka ia akan melakukan kebaikan.
2)        Malu adalah akhlak yang dicintai Allah
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Sesungguhnya Allah Mahamalu dan Maha Menutupi aib. Dia menyukai (akhlak) malu dan (perbuatan) menutup aib...”
Oleh karena itu, kita harus memiliki sifat malu itu, agar kita senantiasa dicintai oleh Allah.
3)        Malu adalah salah satu sifat Allah
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Pemalu lagi Maha Pemurah, Dia malu jika seseorang mengangkat kedua tangannya (memohon) kepada-Nya, lalu dia mengembalikan keduanya kosong sia-sia.”
Malunya Allah adalah malu yang tidak dapat ditangkap oleh pikiran dan tidak diketahui prosesnya oleh akal. Ia adalah malu kemurahan, kebaikan, kedermawanan, dan keagungan.
Sesungguhnya Dia Maha Pemalu yang malu kepada hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu Dia mengembalikannya kosong, yang malu untuk menyiksa orang yang beruban yang ubannya tumbuh di dalam Islam.
4)        Malu adalah akhlak semua Nabi
Sama halnya dengan hadits utama tentang keutamaan sifat malu, yakni dari Ibnu Masud, Uqbah bin Amru Al-Anshari Al-Badri r.a, berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya di antara kalimat kenabian pertama yang sampai ke tengah-tengah manusia adalah:‘Jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu’.” [Riwayat Bukhari].
Maka, sifat malu merupakan warisan para Nabi SAW. Iini menunjukkan bahwa, kenabian terdahulu mengajarkan hal ini, dan menjadikan sesuatau yang termasyhur di antara manusia hingga sampai ke awal umat ini.
Contoh malunya para Nabi di antaranya, malunya Nabi Adam.
Hasan menyatakan bahwa Ka’ab meriwayatkan sabda Nabi SAW. yang berbunyi, “Sesungguhnya Adam as. Adalah seorang yang tinggi seperti pohon kurma yang buahnya tidak terjangkau oleh yang memetik buahnya dan berambut lebat. Setela terjadinya kejadian itu, auratnya terlihat. Dia tidak pernah melihatnnya sebelumnya. Adam pun berlari dan tiba-tiba kepalanya disambar oleh sebatang pohon surga. “Lepaskan aku!” pintanya. ‘Aku tidak akan melepaskanmu!” kata pohon itu. Allah bertanya, “Apakah kamu lari dari-Ku?” Adam menjawab, “Duh Rabbku, tidakkah aku malu kepada-Mu?” Kemudian Allah berfirman, “Seseorang yang beriman akan malu kepada Rabbnya atas dosa yang dilakukannya.” Setelah itu Adam mengetahui segala puji bagi Allah jalan keluarnya. Adam tahu bahwa jalan keluarnya adalah istighfar dan taubat kepada Allah.”
5)   Malu akan membantu seorang hamba untuk menjauhi berbagai kemaksiatan. Bahkan semua kemaksiatan akan ditinggalkannya karena malu kepada Allah.
6)     Malu akan menjaga seseorang dari aib di dunia dan di akhirat. Sebab, malu menciptakan tirai dan hijab antara seseorang hamba dengan faktor-faktor aib di dunia dan di akhirat.
7)        Malu akan menjadikan seorang hamba senantiasa taat kepada Allah Jalla wa ‘Ala
Jika seseorang telah melihat dan merasakan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. yang tidak terhitung nilainya, maka seseorang tersebut akan taat kepada Allah dan semakin bertambah rasa syukurnya.
8)     Malu akan menjadikan seseorang berwibawa. Sebab,seseorang yang malu tidak akan melakukan suatu perbuatan yang menjatuhkan muruahnya dan tidak akan menyakiti orang yang seharusnya dihormatinya.
9)        Malu adalah perhiasan yang paling indah
Mengapa malu dijadikan sebagai perhiasan yang paling indah dibandingkan dengan perhiasan-perhisan yang nampak dan yang dipakai oleh manusia? Jawabannya dapat kita lihat pada hadits berikut ini.
Anas bin Malik menyatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Tidaklah (perkataan atau perbuatan) keji itu menyertai sesuatu sama sekali, kecuali membuatnya buruk, dan tidaklah malu itu menyertai sesuatu sama sekali, kecuali membuatnya indah.”
Ath-Thayyibi berkata, “Dengan pernyataan di atas Rasulullah SAW memberitahukan bahwa akhlak-akhlak tercela adalah pangkal dari segala keburukan, bahkan ia adalah keburukan semuanya, dan bahwa akhlak-akhlak terpuji adalah pangkal dari segala kebaikan, bahkan ia adalah kebaikan semuanya.”
Dari sinilah, “Iman itu telanjang, pakaian takwa, dan perhiasan adalah malu.”
10)    Malu adalah Iman
Hal ini dapat kita lihat dari sebuah hadits, Ibnu Umar menyatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Malu dan iman itu dua sejoli. Jika salah satunya diangkat, maka yang satunya pun terangkat.”
     
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa, malu adalah bagian dari Iman, dan iman adalah malu. Kedua unsur ini dijadikan satu kesatuan yang saling melengkapi, karena apabila seorang itu beriman berarti dia pun malu untuk melakukan suatu hal yang memalukan atau pun buruk dan semakin banyak melakukan hal-hal kebaikan. Sehingga dari hadits yang kedua dapat menjelaskan bahwa, malu itu semuanya baik bukan malah memalukan kita.
Agar kita memiliki sifat malu ini, maka ada beberapa kiat yang bisa kita ikuti, di antaranya:
1)      Menahan diri dari perkataan dan perbuatan yang ditimbulkan oleh kurangnya rasa malu
2)   Secara berlanjut menelaah kembali keutamaan akhlak malu dan mengulang-ulangnya di   dalam hati.
3)   Memperkuat iman dan akidak di dalam hati. Sebab malu adalah iman dan makrifah kepada Allah.
4)     Beribadah dengan merenunggkan nama-nama Allah, Asma’ul Husa.
5)     Membiasakan diri dengan beribadah fardhu dan sunnah.
6)     Selalu jujur, sungguh-sungguh berusaha untuk jujur, dan menjuhi berkata bohong.
7)   Membiasakan diri untuk malu meski dengan memaksa diri setahap demi setahap sehingga diri  pun terbiasa dan manjadi satu karakter dan citra diri.
8)  Bergaul dengan orang-orang yang shalih, memandang mereka, mendengar ucapan mereka, dan mengambil manfaat dari kehidupan mereka.
9)   Menghayati rasa malu yang dimiliki oleh manusia utama, Rasulullah dan menelaah perjalanan hidup beliau.
10) Menjauhi lingkungan yang rusak dan berwabah, yaitu lingkungan yang menghalangi tumbuhnya akhlak terpuji, menghindari orang-orang yang tidak punya malu, dan memilih teman yang baik, yang bisa dijadikan contoh atau teladan yang baik.
     
     Yaa itu lah tadi sedikit penjabaran tentang keutamaan dari sifat malu, semoga ilmu yang saya bagikan ini dapat berguna bagi kita semua, dan bisa menjadi renungan bagi kita untuk memperbaiki diri kita menjadi manusia atau makhluk Allah yang lebih baik, dan tentunya itu semua untuk kebaikan bagi diri kita semua. (Amin Ya Rabbal 'Alamin)
       Tunggu tulisan saya yang selanjutnya ya,,



Referensi
Mahmud Al-Mishri, Manajemen Akhlak Salaf; Membentuk Akhlak Seorang Muslim dalam Hal Amanah, Tawadhu’, dan Malu, Solo : Pustaka Arafah, 2007


2 komentar: