Mungkin kata malu ini sudah tidak asing lagi bagi
kita setiap insan. Saya menulis tentang keutamaan sifat malu ini karena saya
merasa di zaman ini sudah banyak orang-orang di sekitar kita yang hilang sifat
malu, baik itu malu pada diri sendiri, malu kepada Allah, dan bahkan malu
kepada orang lain.
Dan saya sendiri sadar bahwa saya yang juga
manusia biasa lupa akan hakikat malu itu sendiri seperti apa, dan bagaimana menempatkan
malu itu yang benar. Apa lagi seperti yang saya bilang tadi kita di zaman yang
serba modern dan canggih ini pasti jauh dari etika yang sebenarnya.
Oleh karena itu, saya ingin berbagi bagaimana
keutamaan sifat malu itu bagi kita semua, agar kita dapat mengendalikan diri
kita, dan dapat menempatkan sifat malu itu pada tempatnya.
Baiklah langsung aja saya jabarkan sedikit ilmu yang saya dapatkan, berikut hadits tentang
sifat malu dan maknanya.
عَنْ أَبِي
مَسْعُودٍ عقبة بن عمرو الأنصاري رضي الله عنه قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ
إِذَا لَمْ تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
[رواه البخاري]
Dari Ibnu
Masud, Uqbah bin Amru Al-Anshari Al-Badri r.a, berkata: Rasulullah saw.
bersabda, “Sesungguhnya di antara kalimat kenabian pertama yang sampai ke
tengah-tengah manusia adalah:‘Jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu’.” [Riwayat
Bukhari].
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَلْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
“Malu itu semuanya baik.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 54).
Makna hadits
yang pertama yaitu, bahwa sifat malu merupakan sesuatu yang menjadi warisan
Nabi SAW. yang masih disebarkan dan disampaikan oleh manusia secara
turun-menurun, dari generasi ke generasi hingga sekarang.
Hadits ini
juga memiliki makna masyhur dan makna perintah. Makna yang masyhur, yaitu jika
seseorang tidak malu dengan aib dan tidak merasa khawatir akan kepantasannya
dari apa yang ia kerjakan, maka ia akan mengerjakan sesuatu sesuai dengan
bisikan dari jiwanya, baik itu hal yang baik maupun yang buruk. Hadits ini
mengisyaratkan bahwa yang mencegah seseorang dari perbuatan buruk adalah rasa
malunya. Namun, jika rasa malu itu sudah tidak dimiliki lagi, maka ia akan melakukan
kesesatan dan keburukan dengan semau hatinya.
Makna
perintah, yaitu jika seseorang tidak melakukan sesuatu yang berunsur memalukan dan
sejalan dengan norma-norma kebenaran, maka lakukanlah sesukamu.
Hadits ini dianggap sebagai salah
satu sendi Islam, dikarenakan ada seorang ulama yang mengatakan bahwa hadis ini
memuat kelima hukum Islam, yaitu sabda beliau yang berbunyi, "Jika engkau
tidak malu, maka lakukanlah semaumu!" Karena semua perbuatan manusia dapat
digolongkan ke dalam dua golongan, yang pertama perbuatan yang dapat
mengakibatkan malu dan yang kedua perbuatan yang tidak mengakibatkan malu.
Termasuk dalam golongan pertama adalah yang diharamkan dan makruh dan termasuk
dalam golongan kedua adalah yang diwajibkan, sunah dan mubah.
Untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai keutamaan sifat malu, berikut ini penulis akan menjelaskan pengertian
malu, macam-macam malu dan faedah dari malu. Setelah kita mengetahuinya,
barulah kita bisa mengerti makna hadits kedua yang mengatakan bahwa malu itu
semuanya baik, dan sifat malu itu harus kita miliki dalam kehidupan sehari-hari
kita.
Pengertian
Malu
Menurut Imam Ibnul Qayyim, Haya’
atau malu berasal dari kata hayah (hidup).
Menurut
Al-Jurjani, malu adalah mundurnya diri dari sesuatu dan meninggalkannya karena
khawatir mendapat celaan di dalamnya.
Sedangkan
menurut Ibnu Alan, malu adalah akhlak yang mendorong seseorang untuk
meninggalkan perkataan,perbuatan, dan akhlak yang buruk, dengan malu seseorang
tidak akan seenaknya sendiri dalam menunaikan hak orang lain.
Jadi, malu merupakan suatu sikap
untuk menghindarkan diri dari perkataan, perbuatan, dan akhlak yang buruk,
karena dengan adanya sifat malu seseorang dapat mengendalikan diri dan tidak
bersikap semaunya kepada orang lain. Oleh karena itu, sifat malu dijadikan
sebagai warisan Nabi SAW. dan disebarkan dari generasi ke generasi hingga
sekarang ini.
Macam-macam
Malu
Dan harus
diketahui juga, malu yang dimiliki oleh Rasulullah SAW. terbagi menjadi dua macam yakni, malu gharizi
atau pembawaan sejak lahir dan mukhtasab atau yang diusahakan. Beliau amat
pemalu dalam pembawaan melebihi pemalunya gadis dalam pingitan, sedangkan di
dalam malu yang muktasab beliau berada di puncaknya.
Imam Ibnul
Qayyim, menuliskan malu memiliki 10 faktor, yaitu:
1)
Malu karena melanggar aturan
Malu dalam
melanggar aturan ini dimiliki oleh Nabi Adam as. Ketika beliau akan
meninggalkan surga. Maka Allah berfirman, “Apakah kami lari dari-Ku, wahai
Adam?” Beliau menjawab, “Bukan, duhai Rabbku, tetapi karena aku malu
kepada-Mu.” Dan juga malu jenis ini adalah malunya Wahsyi ra. Yang membunuh
paman Nabi SAW. yakni Hamzah. Wahsyi berkata, “ Aku selalu menghindari
Rasulullah SAW. supaya beliau tidak melihatku, sampai beliau wafat.”
2)
Malu karena kurang
bersungguh-sungguh
Malu jenis
ini, seperti malunya para malaikat yang selalu bertasbih sepanjang siang dan
malam, tak pernah beristirahat. Pada hari kiamat mereka berkata,”Maha suci
Engkau, kami telah beribadah kepada Engkau dengan tidak semestinya.”
3)
Malu karena menghormati
Malu semacam
ini, seperti malunya Amru bin Ash kepada Rasulullah SAW. yang tidak pernah
memandang Rasulullah SAW. dengan pandangan yang lama. Amru Ash berkata,
“Sungguh, dahulu tidak ada yang aku benci daripada beliau SAW. Namun, sejak aku
masuk Islam, tidak ada yang labih aku cintai dan lebih terhormat dalam
pandangan selain beliau. Dan seandainya aku diminta untuk menyifati beliau,
niscaya aku tidak akan mampu. Sebab, aku tidak pernah memandang beliau dengan
pandangan yang lama karena rasa hormatku kepada beliau.”
4)
Malu karena memuliakan
Ini seperti
malunya Nabi SAW. kepada para tamu undangan saat walimah pernikahan beliau
dengan Zainab. Para tamu berlama-lama duduk bersama beliau. Maka beliau
berdiri, beliau malu untuk mengatakan, “Pulanglah kalian!”
5)
Malu karena kekerabatan
Seperti malunya Ali bin Abu Thalib
ra. Untuk bertanya kepada Rasulullah SAW. perihal madzi. Yang demikian itu
karena dia telah menikahi putri beliau.
Ali berkata,
“Aku seorang yang ganpang sekali mengeluarkan madzi. Karenanya aku meminta
Miqdad untuk bertanya kepada Nabi SAW. tentang madzi. Miqdad menanyakannya, dan
jawab Nabi, “Di dalamnya ada wudhu.”
Dalam
riwayat lain, “Aku adalah seseorang yang gampang sekali mengeluarkan madzi.
Karenannya aku meminta seseorang untuk menanyakannya kepada Nabi SAW. karena
dia telah menikahi putri beliau. Orang itu menannyakannya” dan Nabi SAW.
menjawab, “Berwudhu dan cucilah dzakarmu!”
6)
Malu karena merasa hina dan kecil
Seperti
malunya seorang hamba kepada Rabbnya ketika dia menanyainya tentang berbagai
kebutuhannya, mengingat hina dan kecilnya diri. Di dalam atsar dari Bani Israil
disebutkan bahwa Musa as. Berkata, “Wahai Rabbku, aku benar-benar
membutuhkan beberapa perkara dunia, namun aku malu untuk memintanya kepada-Mu ,
wahai Rabbku!” Maka Allah ta’ala berfirman, “Mintalah kepada-Ku termasuk
garam adonanmu dan makanan kambingmu!”
Penyebab
malu jenis ini ada dua, yaitu karena orang yang meminta merasa dirinya kecil serta
merasa banyak dosa-dosa dan kesalahannya besar, dan karena merasa besarnya yang
dimintanya.
Juga seperti perkataan sesorang, “Sungguh, aku malu
untuk meminta dunia kepada Rabbku, padahal dia yang memilikinya, lantas
bagaimana aku meminta kepada yang tidak memilikinya.?”
7)
Malu karena cinta
Malu karena
cinta ini adalah malu seseorang yang mencintai kepada yang mencintainya, dan
rasa malu itu akan muncul apabila mengingatnya dan tidak di dekatnya. Rasa malu
itu tergambar dari raut wajahnya yang dia sendiri tidak tahu apa penyebabnya.
Hal ini serupa dengan rasa malu seseorang yang akan bertemu dengan kekasihnya.
Oleh karena itu, cinta memiliki pengaruh besar untuk menundukkan diri seseorang
di atas seseorang yang menundukkan bandannya.
8)
Malu dalam rangka beribadah
Malu seperti
ini sama dengan malunya rasa cinta, rasa takut, dan rasa selalu tidak beribadah
kepada yang berhak untuk diibadahi. Hal ini juga dikarenakan kedudukan yang dibadahi
itu lebih tinggi dan lebih mulia. Ibadah seperti ini akan senantiasa
menimbulkan rasa malu kepada-Nya.
9)
Malu karena memiliki kemuliaan dan
harga diri
Malu seperti
ini timbul dari seseorang yang melakukan suatu kebaikan atau memberikan suatu
barang yang jauh di bawah kemuliaannya. Walaupun seseorang sudah memberi namun,
orang tersebut malu karena dia memiliki harga diri, barang yang diberikan
terlalu kecil, dan malu seakan-akan orang yang diberi itu yang meminta.
10)
Malu kepada diri sendiri
Malu seperti
ini dimiliki oleh orang yang berjiwa mulia. Malu karena membiarkan dirinya
kekurangan dan hina. Seseorang malu kepada dirinya sendiri, tentunya dia lebih
malu kepada orang lain.
Para
ulama pun membagi malu itu menjadi dua bagian, yaitu :
1)
Malu kepada Allah
Artinya seorang hamba merasa malu jika Allah
melihatnya sedang melakukan kemaksiatan dan menyelisihi perintah-Nya. Dalam hal
ini orang tersebut memiliki rasa muraqabah, yaitu yang bersangkutan merasa
bahwa Allah subhanahu wa ta’ala yang maha mengetahui dan maha melihat selalu
mengawasi seluruh gerak gerik hamba-hambanya, sehingga yang bersangkutan merasa
malu untuk berbuat sesuatu dimana Allah yang maha mengetahui dan maha melihat
selalu mengawasi seluruh gerak gerik hamba-hambanya, sehingga yang bersangkutan
merasa malu untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan
dan akhlak yang mulia.
Rasa
malu kepada Allah adalah bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa
malu ini merupakan buah dari mengenal betul Allah, keagungan Allah. Serta
menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hamba-Nya, mengawasi perilaku
mereka dan sangat paham dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati
nurani.
Rasa malu kepada Allah adalah termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling puncak.
Rasa malu kepada Allah adalah termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling puncak.
2)
Malu kepada sesama manusia
Dalam hal ini seseorang merasa malu terhadap orang
lain apabila ia melakukan sesuatu yang tidak bersesuaian dengan norma-norma
yang berlaku ditengah-tengah masyarakat atau yang dimana orang banyak dianggap
sebagai sesuatu yang tidak lazim.
Rasa malu yang kedua ini adalah malu dengan sesama
manusia. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan
yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui
kekurangan yang dia miliki. Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang
dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu
kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap
kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri
tanpa siapa-siapa menyertai
orang yang memiliki rasa malu dengan sesama tentu akan menjauhi segala sifat yang tercela dan berbagai tindak tanduk yang buruk. Karenanya orang tersebut tidak akan suka mencela, mengadu domba, menggunjing, berkata-kata jorok dan tidak akan terang-terangan melakukan tindakan maksiat dan keburukan.
orang yang memiliki rasa malu dengan sesama tentu akan menjauhi segala sifat yang tercela dan berbagai tindak tanduk yang buruk. Karenanya orang tersebut tidak akan suka mencela, mengadu domba, menggunjing, berkata-kata jorok dan tidak akan terang-terangan melakukan tindakan maksiat dan keburukan.
Faedah Malu
Dengan memiliki sifat malu, tentunya
akan memiliki manfaat ataupun faedah di dalamnya, di antaranya dapat kita
ketahui, yakni :
1)
Malu adalah kunci segala kebaikan
Imam Ibnul
Qayyim mengatakan bahwa, Akhlak malu adalah akhlak yang paling utama, paling
tinggi, paling agung, dan paling banyak manfaatnya. Malu adalah karakter khusus
manusia. Dan menurutnya, bagi orang yang tidak memiliki sifat malu, maka orang
tersebut tidak lain hanyalah memiliki sisi kemanusiaan seperti daging, darah
dan badan kasarnya, serta tak akan ada kebaikan yang datang kepadanya.
Faktor yang mendorong seseorang untuk
berbuat baik adalah agama, yang dijadikan sebagai harapan untuk menghadapi
kesudahan yang baik, dan dunia, yang berarti rasa malu seseorang kepada
sesamanya.
Bagi orang yang memiliki rasa malu
maka ia akan melakukan kebaikan.
2)
Malu adalah akhlak yang dicintai
Allah
Dalam sebuah
hadits disebutkan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Sesungguhnya Allah Mahamalu dan
Maha Menutupi aib. Dia menyukai (akhlak) malu dan (perbuatan) menutup aib...”
Oleh karena itu, kita harus memiliki
sifat malu itu, agar kita senantiasa dicintai oleh Allah.
3)
Malu adalah salah satu sifat Allah
Dalam sebuah
hadits disebutkan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala
Maha Pemalu lagi Maha Pemurah, Dia malu jika seseorang mengangkat kedua
tangannya (memohon) kepada-Nya, lalu dia mengembalikan keduanya kosong
sia-sia.”
Malunya
Allah adalah malu yang tidak dapat ditangkap oleh pikiran dan tidak diketahui
prosesnya oleh akal. Ia adalah malu kemurahan, kebaikan, kedermawanan, dan
keagungan.
Sesungguhnya Dia Maha Pemalu yang
malu kepada hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu Dia
mengembalikannya kosong, yang malu untuk menyiksa orang yang beruban yang
ubannya tumbuh di dalam Islam.
4)
Malu adalah akhlak semua Nabi
Sama halnya
dengan hadits utama tentang keutamaan sifat malu, yakni dari Ibnu Masud, Uqbah
bin Amru Al-Anshari Al-Badri r.a, berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya
di antara kalimat kenabian pertama yang sampai ke tengah-tengah manusia
adalah:‘Jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu’.” [Riwayat Bukhari].
Maka, sifat malu merupakan warisan
para Nabi SAW. Iini menunjukkan bahwa, kenabian terdahulu mengajarkan hal ini,
dan menjadikan sesuatau yang termasyhur di antara manusia hingga sampai ke awal
umat ini.
Contoh
malunya para Nabi di antaranya, malunya Nabi Adam.
Hasan menyatakan bahwa Ka’ab
meriwayatkan sabda Nabi SAW. yang berbunyi, “Sesungguhnya Adam as. Adalah
seorang yang tinggi seperti pohon kurma yang buahnya tidak terjangkau oleh yang
memetik buahnya dan berambut lebat. Setela terjadinya kejadian itu, auratnya
terlihat. Dia tidak pernah melihatnnya sebelumnya. Adam pun berlari dan
tiba-tiba kepalanya disambar oleh sebatang pohon surga. “Lepaskan aku!”
pintanya. ‘Aku tidak akan melepaskanmu!” kata pohon itu. Allah bertanya,
“Apakah kamu lari dari-Ku?” Adam menjawab, “Duh Rabbku, tidakkah aku malu
kepada-Mu?” Kemudian Allah berfirman, “Seseorang yang beriman akan malu
kepada Rabbnya atas dosa yang dilakukannya.” Setelah itu Adam mengetahui
segala puji bagi Allah jalan keluarnya. Adam tahu bahwa jalan keluarnya adalah
istighfar dan taubat kepada Allah.”
5) Malu akan membantu seorang hamba
untuk menjauhi berbagai kemaksiatan. Bahkan semua kemaksiatan akan
ditinggalkannya karena malu kepada Allah.
6) Malu akan menjaga seseorang dari aib
di dunia dan di akhirat. Sebab, malu menciptakan tirai dan hijab antara
seseorang hamba dengan faktor-faktor aib di dunia dan di akhirat.
7)
Malu akan menjadikan seorang hamba
senantiasa taat kepada Allah Jalla wa ‘Ala
Jika
seseorang telah melihat dan merasakan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT.
yang tidak terhitung nilainya, maka seseorang tersebut akan taat kepada Allah
dan semakin bertambah rasa syukurnya.
8) Malu akan menjadikan seseorang
berwibawa. Sebab,seseorang yang malu tidak akan melakukan suatu perbuatan yang
menjatuhkan muruahnya dan tidak akan menyakiti orang yang seharusnya
dihormatinya.
9)
Malu adalah perhiasan yang paling
indah
Mengapa malu
dijadikan sebagai perhiasan yang paling indah dibandingkan dengan
perhiasan-perhisan yang nampak dan yang dipakai oleh manusia? Jawabannya dapat
kita lihat pada hadits berikut ini.
Anas bin Malik menyatakan bahwa Rasulullah SAW.
bersabda, “Tidaklah (perkataan atau perbuatan) keji itu menyertai sesuatu
sama sekali, kecuali membuatnya buruk, dan tidaklah malu itu menyertai sesuatu
sama sekali, kecuali membuatnya indah.”
Ath-Thayyibi
berkata, “Dengan pernyataan di atas Rasulullah SAW memberitahukan bahwa
akhlak-akhlak tercela adalah pangkal dari segala keburukan, bahkan ia adalah
keburukan semuanya, dan bahwa akhlak-akhlak terpuji adalah pangkal dari segala
kebaikan, bahkan ia adalah kebaikan semuanya.”
Dari sinilah,
“Iman itu telanjang, pakaian takwa, dan perhiasan adalah malu.”
10)
Malu adalah Iman
Hal ini dapat kita lihat dari sebuah
hadits, Ibnu Umar menyatakan bahwa Rasulullah SAW. bersabda, “Malu dan iman
itu dua sejoli. Jika salah satunya diangkat, maka yang satunya pun terangkat.”
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa, malu
adalah bagian dari Iman, dan iman adalah malu. Kedua unsur ini dijadikan satu
kesatuan yang saling melengkapi, karena apabila seorang itu beriman berarti dia
pun malu untuk melakukan suatu hal yang memalukan atau pun buruk dan semakin
banyak melakukan hal-hal kebaikan. Sehingga dari hadits yang kedua dapat
menjelaskan bahwa, malu itu semuanya baik bukan malah memalukan kita.
Agar kita
memiliki sifat malu ini, maka ada beberapa kiat yang bisa kita ikuti, di
antaranya:
1)
Menahan diri dari perkataan dan
perbuatan yang ditimbulkan oleh kurangnya rasa malu
2) Secara berlanjut menelaah kembali
keutamaan akhlak malu dan mengulang-ulangnya di dalam hati.
3) Memperkuat iman dan akidak di dalam
hati. Sebab malu adalah iman dan makrifah kepada Allah.
4) Beribadah dengan merenunggkan
nama-nama Allah, Asma’ul Husa.
5) Membiasakan diri dengan beribadah
fardhu dan sunnah.
6) Selalu jujur, sungguh-sungguh berusaha
untuk jujur, dan menjuhi berkata bohong.
7) Membiasakan diri untuk malu meski
dengan memaksa diri setahap demi setahap sehingga diri pun terbiasa dan manjadi
satu karakter dan citra diri.
8) Bergaul dengan orang-orang yang
shalih, memandang mereka, mendengar ucapan mereka, dan mengambil manfaat dari
kehidupan mereka.
9) Menghayati rasa malu yang dimiliki
oleh manusia utama, Rasulullah dan menelaah perjalanan hidup beliau.
10) Menjauhi
lingkungan yang rusak dan berwabah, yaitu lingkungan yang menghalangi tumbuhnya
akhlak terpuji, menghindari orang-orang yang tidak punya malu, dan memilih
teman yang baik, yang bisa dijadikan contoh atau teladan yang baik.
Yaa itu lah tadi sedikit penjabaran tentang keutamaan dari sifat malu, semoga ilmu yang saya bagikan ini dapat berguna bagi kita semua, dan bisa menjadi renungan bagi kita untuk memperbaiki diri kita menjadi manusia atau makhluk Allah yang lebih baik, dan tentunya itu semua untuk kebaikan bagi diri kita semua. (Amin Ya Rabbal 'Alamin)
Tunggu tulisan saya yang selanjutnya ya,,
Referensi
Mahmud
Al-Mishri, Manajemen Akhlak Salaf; Membentuk Akhlak Seorang Muslim dalam Hal
Amanah, Tawadhu’, dan Malu, Solo : Pustaka Arafah, 2007
Subhannallah, bagus sekali artikelnya
BalasHapusTerimakasih informasinya, sangat membantu
BalasHapus